5: Stoisisme dan Islam Serta Implementasinya dalam Kehidupan
Kenyataannya tidak ada yang tahu kemana roda kehidupan ini akan berputar, terkadang juga tidak semulus yang kita bayangkan, atau sebahagia yang kita harapkan. Islam sendiri juga telah mengajarkan bagaimana cara untuk hidup bahagia. Bahkan Allah Swt sendiri sudah mengklaim bahwa barang siapa yang hidup sesuai dengan ajaran Islam maka akan selamat dan bahagia dunia akhirat. Belakangan ini juga muncul istilah-istilah dari para filsuf yang mengajarkan kita bagaimana cara untuk bahagia, salah satunya soisisme. Lantas seperti apa stoisisme dan Islam?
Hal ini menarik karena Allah Swt tidak menggunakan kata bahagia melainkan selamat. Mengenai bagaimana cara hidup lebih senang dan bahagia, ada sebuah pandangan yang kemunculunnya jauh sebelum agama-agama ada. Ia adalah stoisisme.
1. Stoisisme dan Islam; Apa itu Stoisisme?
Sekitar tahun 300 sebelum masehi, seorang pedagang dari Syprus berlayar menyebrangi laut mediterania dari Phoenichia ke Peiraeus. Namun kapal yang ditumpanginya justru karam dan barang dagangan yang ia bawa juga hanyut dan tenggelam. Padahal nilai dari barang itu sangat tinggi pada masanya. Setelah kapal yang ditungganginya karam maka terdamparlah ia di suatu kota berperadaban maju yang bernama Athena. Disana lah kota yang melahirkan para filsuf-filsuf terkenal.
Di tengah kesulitan hidup seorang pedagang yang bernama Zeno, ia berusaha untuk bertahan hidup dan juga belajar dengan filsuf-filsuf tersebut. Hingga suatu ketika ia berhasil menyebarkan pemikirannya sendiri. Kala itu ia mengajari murid-muridnya di sebuah selasar, yang dalam bahasa Yunani dikenal dengan istilah stoa. Maka sejak itulah pandangan Zeno dan pengikutnya dikenal dengan istilah stoisisme.
Stoisisme bukan sebuah agama, menurut Haidar Bagir dalam bukunya Buku Saku Filsafat, stoisisme bukan termasuk filsafat spekulatif dan tematik, melainkan sebuah pandangan hidup mendalam dengan memerhatikan emosi manusia.
2. Stoisisme dan Islam; Ajaran Inti Stoisisme
Stoisisme dikenal dengan ajaran filosofis yang berfokus pada emosi manusia. Jadi ajaran inti dari pandangan ini ialah bagaimana kita mengelola emosi negatif dari seseorang yang menurut para stoik adalah sumber dari ketidak bahagiaan seseorang.
Islam telah mengajarkan kita untuk menjadi khilafah di muka bumi ini, artinya kita harus menjaga hubungan kita dengan orang lain dan juga dengan bumi ini. Selaras juga dengan ajaran stoisisme yang pertama uyaitu manusia harus hidup selaras dengan alam, menyesuaikan dengan kodratnya sebagai manusia, yaitu ia memiliki akal. Tentunya ini sangat ditekankan dalam stoisisme karena manusia harus selalu rasional dan juga menggunakan akalnya da;am menjalani kehidupan ini. Kalau tidak, dengan sangat jelas ia tak ubahnya sekor binatang yang tidak memiliki akal.
3. Stoisisme dan Islam; Bagaimana seharusnya menggunakan akal?
Pertama, tentu manusia tidak mengikuti hawa nafsunya, karena ini tidak menunjukkan sikap berbeda dengan hewan. Kedua, dalam pandangan stoisisme, ada hal yang bisa kita kendalikan dan ada yang tidak (things we can control and not).
Sadarkah bahwa hal yang dapat kita kendalikan hanya dua, yaitu pikiran dan tindakan. Termasuk di dalamanya ide, gagasan, harapan, opini dan lain sebagainya. Lantas, hal yang tidak bisa kita kendalikan adalah diluar dari dua hal yang telah disebutkan; kekayaan, pendidikan, jabatan, status sosial dan lain sebagainya.
4. Stoisisme dan Islam
Manusia dapat dikatakan rasional ketika ia dapat berpikir dengan baik hal yang ada di bawah kendalinya. Saat ia memikirkan dan mulai memusingkan hal yang sudah di luar kendalinya maka ia dapat dikatakan sudah tidak rasional. Perlu digaris bawahi bahwa bukan berarti stoisisme mengajarkan seseorang berpasrah diri saja ketika melihat banyak hal berada di luar kendalinya.
Disinilah letak ajaran filsuf stoik yang berpesan bahwa manusia tidak perlu mengkhawatirkan sesuatu yang seharusnya tidak ia pikirkan. Hal-hal yang terjadi di luar kendalinya itu sudah menjadi hukum alam apa yang gterjadi. Solusi dari hal ini adalah amor fati, yaitu sikap untuk mencitai apa yang terjadi saat ini.
Kemudian, manusia juga dianjurkan untuk mengasah empat virtue atau kebajikan, yaitu wisdom, atau kemampuan dalam mengambil sebuah keputusan dalam situasi apapun; justice, memperlakukan orang lain dengan adil dan jujur; courage, keberanian berbuat dan teguh pada prinsip yang benar; dan temprance, disiplin dan dapat menkontrol diri atas emosi sebagaimana dikutip dari buku yang berjudul “Filosofi Teras”.
Hal yang menarik dalam stoisisme adalah bukan tentang saat seseorang berhasil mendapatkan apay an mereka inginkan, melainkan ketika seseorang memiliki kemampuan untuk tidak menginginkan. Hingga ia kemudian berada di titik merasa cukup. Dan menurut stoisisme, sesungguhnya kebahagiaan yang kokoh adalah berasal dari dalam diri, bukan dari luar diri kita.
5. Stoisisme dan Islam
Berbicara tentang seperti apa pengendalian emosi, Islam juga menerapkan beberapa prinsip salah satunya adalah yang tersebut dalam Hadist Nabi,
لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ
“Janganlah engkau marah, maka bagimu surga.” (HR. Ibnu Abid Dunya, hadist ini adalahb hadist yang sahih)
Kedua pandangan baik stoisisme dan Islam melihat dan menerangkan seperti apa dampak destruktif dari emosi negatif, sehingga hal tersebut harus dikurangi.
Kemudian, jika dalam stoisisme ada amor fati, maka Islam telah lebih dulu mengajarkan kita seperti apa sikap syukur. Allah Swt berfirman:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.”
Dapat kita lihat bersama bahwa, Islam mengajarkan untuk menerima apa yang telah Allah tetapkan dan berikan kepada manusia dan jangan mengingkarinya.
Tentunya kita tahu seperti apa pentingnya sikap menerima dan merasa cukup. Islam mengajarkan kita dengan sikap qana’ah dan tawakkal. Dijelaskan juga mengenai kebahagiaan dan kebaikan berasal dari dalam diri disampaikan Rasulullah Saw:
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).
Atau ditunjukkan dengan konsep nafsul muthma’innah atau jiwa yang tenang, yang menurut Imam al-Ghazali adalah jiwa yang mampu melenyapkan syahwat.
Bolehkah Muslim Menggunakan dan Menerapkan Ajaran Stoisisme?
Selagi nilai-nilai tersebut tidak bertentangan dengan islam dan juga keimanan kita, insyaallah tidak ada larangan. Pandangan ini hanyalah salah satu cara kita memahami ajaran Islam dengan logika yang kita miliki.
Akan tetapi jika literasi yang kita dapat bukan dari sumber yang islami, maka seyogyanya kita menelisik kebenaran dan kesesuainnya dengan ajaran kita terlebih dahulu. Dan juga mencari hal yang sesuai dengan apa yang diajarkan dalam Islam. Wallahu a’lam bi al-shawab.
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow