Islam Telah Mengajarkan dan Mari Kita Belajar Empati dari Rasulullah
Kehidupan di dunia ini tentunya sangat berwarna, bukan hanya hitam dan putih. Tidak sedikit orang dalam menjalankan kehidupannya melalui pahit dan getir terlebih dahulu. Kehidupan ini juga seperti roda yang berputar. Bahkan, tentu setiap orang pernah merasakan musibah, sekecil apapun, dan juga melalui permasalahan yang mungkin ia pun tidak pernah membayangkan akan melalui jalan tersebut, untuk itu kita juga harus belajar empati dari Rasulullah.
Bila kita melihat fenomena di masyrakat, kematian adalah termasuk musibah yang paling berat, yang tentu saja bagi orang beriman merupakan peristiwa yang berat dan juga sebagai pengingat bahwa semua yang hidup nantinya akan kembali kepada Allah SWT.
Media sosial di era sekarang ini memiliki pengaruh yang positif dan juga negatif. Positifnya, segala macam informasi dapat dengan mudah dijangkau dan juga disebarkan. Negatifnya, banyak orang yang berlebihan dan kurang santun ketika menggunakan sosial media sehingga lebih banyak mudharatnya.
Apa saja tindakan seperti apa yang sekiranya tidak pantas dilakukan dalam bersosial media? Banyak sekali, misalnya saja dengan melakukan swafoto (selfie) di lokasi bencana. Sudah banyak buktinya, ketika terjadi bencana, ada saja warga datang berbondong-bondong tapi bukan untuk menolong, melainkan untuk selfie di lokasi bencana.
Mari Simpati, Bukan Selfie
Ketika bencana menerpa orang lain sudah seharusnya membuat kita bersimpati, dan bukan sibuk mengabadikan moment tersebut dengan selfie. Simpati dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan sebagai keikutsertaan merasakan perasaan senang, susah, sedih, yang diderita oleh orang lain.
Terkait selfie yang dilakukan bukan pada tempatnya ini, Badan SAR (Search and Resque) Nasional sudah melarang dengan keras dan mengumukan melalui media cetak, online, maupun televisi. Apa yang membuat larangan itu diberlakukan? Karena hal ini akan memberikan dampak yang tidak baik, tidak menghargai warga yang sedang dilanda musibah.
Jangan sampai, ketika ada kejadian musibah yang menimpa saudara setanah air, justru malah dijadika tempat untuk berswafoto yang doyan sekali selfie. Mari memperbaiki semua ini dengan memulainya dari diri kita sendiri.
Bagaimana jika memotret untuk kebutuhan berita di media online, televisi, atau lembaga yang memerlukan laporan dari lokasi bencana agar segera mendapatkan pertolongan? Sudah pasti hal ini boleh saja, asal dengan cara yang baik, tidak selfie.
Empati dari Hati
Setelah berusaha memberikan sikap simpati dan tidak melakukan selfie di lokasi bencana ataupun pada orang yang sedang berduka, alangkah lebih baik kita melakukan sesuatu agar setidaknya dapat meringankan sedikit beban mereka. Bisa kita lakukan dengan hal sederhana seperti menghibur dan mengusap air mata mereka. Bisa dengan menggalang donasi kemudian menyalurkan bantuan kepada mereka, atau menyalurkan bantuan sendiri, dan bila tak sempat bis akita titipkan pada Lembaga terkait yang sekiranya amanah.
Langkah tersebut adalah perwujudan dari rasa empati dalam diri kita. Menurut KBBI, empati merupakan suatu keadaan mental yang membuat seseorang merasa, atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang lain. Yang mana kita dapat menempatkan diri seolah merasakan perasaan korban bencana, dan berusaha memberi bantuan sekiranya apa yang dibutuhkan.
Simpati dan Empati dalam Islam
Islam adalah agama yang Rahmatan Lil’alamiin. Segala hal yang diperintahkan dan dilarang dalam Islam adalah suatu kebaikan bagi siapapun yang menjalankannya. Sering kali kebaikan itu juga berdampak baik kepada mereka yang berada di sekitar kita.
Belajar Empati dari Rasulullah
Menghadapi musibah yang menimpa diri sendiri maupun orang lain, Islam telah mengajarkan untuk kita bersimpati sekaligus berempati.
Sebagaimana Firman Allah SWT dalam al-Quran: “Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. At-Taghaabun [64] : 11).
Ketika kita dihadapkan dengan orang-orang yang sedang memiliki berbagai masalah dan musibah, sebagai seorang Muslim harus mau berbagi empati. Sikap empati dalam Islam adalah bentuk pancaran dari dari jiwa pemurah atau dermawan.
Belajar Empati dari Rasulullah
Dalam sebuah Hadits Nabi disebutkan, bahwa Rasulullah adalah seorang yang paling pemurah (HR Bukhari dan Muslim). Dalam Hadits lain disabdakan, yang artinya “Allah akan melindungi para hamba, manakala para hamba itu melindungi sesamanya.” Dalam Hadits lain yang sangat populer juga disebutkan, bahwa ciri seorang Muslim ialah ketika mencintai sesamanya selayaknya ia mencintai diri sendiri. Sikap pemurah itulah yang kemudian menumbuhkan empati. Setiap Muslim dianjurkan agar menjadi insan yang mampu merasakan derita sesamanya sehingga menumbuhkan rasa solidaritas dalam dirinya.
Belajar Empati dari Rasulullah
Ajaran tentang ta’awun juga dapat menumbuhkan empati dalam diri seseorang. Ta’awun merupakan sikap suka menolong atau berkerjasama dengan orang lain dalam hal kebajikan. Allah berfirman yang artinya, “Dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan” (Qs Al-Maidah: 2). Ajaran ini merupakan ajaran yang sangat mulia karena setiap Muslim diajarkan untuk mau berta’awun dengan siapapun dalam hal-hal yang baik, dan jangan pernah bekerjasama untuk hal-hal yang buruk dan mendatangkan keburukan.
Sikap empati akan melahirkan sikap altruisme, yaitu menjadikan diri kita menjadi pribadi yang suka membantu dan bersetiakawan dengan sesama. Kini, semakin tampak kecenderungan orang untuk hidup serba egois dan tidak peduli dengan sesama. Orang hanya memikirkan dan memperjuangkan kepentingan dirinya sendiri dan acuh dengan orang lain yang mungkin lebih membutuhkan.
Orang egois hanya akan mencintai diri sendiri dan kepentingannya sendiri serta tidak tergerak hatinya untuk peduli terhadap nasib orang lain. Jangankan terhadap orang lain, bahkan terhadap orang-orang terdekatnyapun ia tidak peduli. Hal yang dipikirkannya ialah dirinya, bila perlu demi diri ia mengorbakan perasaan ataupun hak-hak orang lain.
Coba lihatlah di jalan raya. Semakin hari semakin banyak perangai orang egois. Demi kepentingannya mereka berjalan atau berkendara secara terburu-buru dan kadang membahayakan keselamatan orang lain. Jalan raya menjadi tempat rawan kecelakaan karena ulah dari para pengendara yang egois dan tidak mau peduli dengan orang lain.
Nyawa orangpun tidak dipedulikannya. Apabila ada orang yang tertimpa kecelakaan pun orang cenderung menghindar dan dan menganggap bahwa jika mereka menolong akan membuatnya menjadi ribet. Jalan raya ini seolah sebuah miniatur manusia hidup dalam egoisme yang sesungguhnya dan kehilangan empati.
Belajar Empati dari Rasulullah
Maka marilah kita meneladani Rasul akhir zaman, yaitu Nabi Muhammad SAW yang seluruh hayatnya menjadi uswah hasanah dalam berempati terhadap sesaa manusia. Rasulullah juga menghormati orang kaya dan berkemampuan, sekaligus mencintai mereka yang dhu’afa agar keduanya dapat saling berempati dan tolong menolong. Mereka yang diberi anugerah pun patut empati terhadap saudaranya yang tengah dirundung pilu dan masalah. Empati, sungguh menjadi mutiara hidup yang penuh makna bagi setiap Muslim yang pemurah.
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow