2 Hukum Menikah Saat Hamil Menurut Islam dan Pemerintah

2 Hukum Menikah Saat Hamil Menurut Islam dan Pemerintah

Smallest Font
Largest Font

Seperti apakah sebenarnya pandangan islam mengenai perempuan yang menikah saat hamil? Tentunya, hal seperti ini menimbulkan banyak pertanyaan di antara Kita semua.

Namun, satu hal yang pasti dan paling penting adalah dalam Islam menikah merupakan ibadah terpanjang yang dijalankan oleh sepasang suami istri.

Menikah Saat Hamil

photo: google

Apabila dikutip dari jurnal yang diterbitkan Universitas Pendidikan Indonesia, terdapat beberapa hal yang membuat pernikahan dapat dikatakan sah.

Di antaranya, yang pertama adalah saat perempuan halal untuk dinikahi oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya. Kedua, pernikahan tersebut dihadiri oleh dua orang saksi laki-laki.kemudian terdapat syarat yang tidak kalah penting, yaitu adanya wali dari pihak mempelai perempuan.

Syarat ketiga ini dianut muslim di Indonesia dan ini adalah pendapat dari Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Hasan Basari, Ibn Abi Layla, dan Ibn Syubrumah.

Lantas seperti apa hukum menikah saat hamil?

photo: google

Sebenarnya jika Kita membahas tentang pertanyaan ini, maka aka nada banyak pendapat yang bermunculan tentunya.

Meski sebenarnya hamil di luar nikah merupakan hal tabu dan dianggap sebagai aib di Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena ini banyak terjadi di kalangan masyarakat.

Hamil di luar nikah dianggap sebagai aib dalam keluarga, dengan demikian wanita yang hamil harus segera dinikahi untuk menghapus aibnya.

Dikutip dari Jurnal Hukum Perdata Islam, menurut pendapat Imam Syafi’i, perkawinan akibat hamil di luar nikah hukumnya adalah sah saja.yaitu pernikahan dapat dilakukan meskipun sang mempelai perempuan dalam keadaan hamil. Baik perkawinan yang dijalani tersebut dengan laki-laki yang menghamilinya atau dengan laki-laki selain itu.

Pendapat ini sebagaimana yang tercantum di dalam kitab Al-Muhazzab karya Abu Ishaq Asy-Syairazi juz II halaman 43. Pendapat daru Imam Syafi’i tentang kebolehan perkawinan tersebut adalah karena wanita tersebut, termasuk gke dalam golongan wanita yang haram untuk dinikahi. Bayi yang lahir sebagai akibat hubungan di luar nikah, nasab keturunannya akan kembali kepadanya.

Namun, Imam Hanafi memiliki pemahaman yang berbeda. Imam Hanafi hanya membolehkan menggauli jika laki-laki yang menikahinya laki-laki melakukan zina dengannya. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang diperbolehkan menikah dan menggaulinyaa adalah baik oleh laki-laki yang menghamilinya atau bukan.

Sementara itu, terdapat pendapat lain yaitu menurut Imam Maliki dan Hambali tidak membolehkan menikahi wanita hamil di luar nikah. Baik pernikahan tersebut dilakukan dengan laki-laki yang menghamilinya atau bukan yang menghamilinya.

Selain itu, Imam Hanafi dan Syafi’i memiliki pendapat bahwa mentalak wanita hamil hukumnya jaiz (boleh).

Adapun menurut Imam Maliki jika mentalak seirang wanita yang sedang hamil hukumnya haram, sebab mereka mengkiyaskan talak di dalamnya kepada talak pada masa haid di luar kehamilan. Imam Hanafi dan Syafi’I berpendapat bahwa tidak ada iddah bagi wanita hamil karena zina.

Sedangkanpendapat lain dari Imam Maliki dan Hambali, yaitu mewajibkan adanya iddah bagi wanita yang hamil di luar nikah. Sebenarnya,perbedaan di antara pendapat-pendapat tersebut memiliki berdasarkan beberapa nash tentunya.

Aisyah ra berkata, Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan ia sudah berniat untuk menikahinya, kemudian beliau bersabda:

“Awalnya kotor dan akhirnya perbuatan nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal.” (HR Thabrani dan Daruquthni).

Adapun pendapat yang mengharamkan laki-laki untuk menikahi wanita yang tengah hamil. Hal ini dengan alas an karena kehamilan di luar nikah itu dapat mengakibatkan rancunya nasab anak tersebut. Dalilnya adalah beberapa nash berikut ini.

Rasulullah SAW mengatakan: “Janganlah disetubuhi (dikawini) seorang wanita hamil (karena zina) hingga kelahiran.” (HR Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Hakim).

Rasulullah SAW mengatakan: “Tidak halal bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan airnya pada tanaman orang lain.” (HR Abu Daud dan Tirmizi).

Berbagai pendapat ini mungkin bisa membuat NaishaMate menjadi bingung pendapat manakah yang dapat kita Yakini.

Namun, sebenarnya peraturan pemerintah juga telah menetapkan seperti apa hukum kehamilan seorang wanita di luar pernikahan yang bisa dipahami. Simak ulasan berikutnya, ya.

Menikah Saat Hamil Menurut Pemerintah

photo: google

Dikutip dari Kanwil Kemenag Sumsel, perhatikan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991.

Adapun pelaksanaannya diatur sesuai dengan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 154 Tahun 1991 yang menyebutkan hukum hamil di luar nikah sebagai berikut:

  1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya.
  2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
  3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Lalu, jika kita berbicara lebih dekay mengenai status anak yang berada dalam hukum di luar nikah, bagaimana? Simak pembahasan berikut ini.

Menikah Saat Hamil; Status Anak dari Hamil di Luar Nikah

photo: google

Sebelumnya, mari Kita mencoba untuk memahami terlebih dulu mengenai status anak menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Jika ditilik dari peraturan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ada dua kedudukan seorang anak, yaitu anak sah dan anak luar perkawinan.

Disebut anak sah karena anak tersebut yang dilahirkan setelah orang tuanya telah menjalankan pernikahan yang sah baik dimata agama maupun di mata hukum.

Perkawinan akan dinyatakan sah ketika dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan dan kepercayaan mempelai. Lalu, seperti apa yang dimaksud dengan anak di luar perkawinan?

Terdapat dua pendapat mengenai hal ini, yaitu anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Kemudian yang kedua adalah anak dibenihkan di luar perkawinan, namun anak tersebut dilahirkan setelah orang tuanya melakukan perkawinan.

Namun, bukan berarti ayah biologis dari anak luar perkawinan tersebut lantas lepas dari pertanggung jawaban. Ayah biologis sang anak tetap harus memenuhi nafkan kepada anaknya seperti biaya pendidikan, pengobatan sampai usia anak beranjak dewasa.

Menikah Saat Hamil; Status Anak dari Hamil di Luar Nikah Menurut Islam

photo: google

Bagi penganut agama Islam, anak luar nikah itu tidak bisa dikatakan sebagai anak yang sah. Penganut agama Islam juga tidak boleh melakukan pengakuan nasab anak diluar perkawinan, namun anak tersebut tetap harus dilindungi.

Selanjutnya, coba NaishaMate pahami beberapa hukum fikih berikut, semoga ini membuat Anda semakin merinding dan takut untuk membuka peluang kesempatan untuk hamil di luar pernikahan.

Pertama, anak hasil zina (anak di luar nikah) tidak boleh dinasabkan ke bapak biologis.
Anak hasil dari zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana anak mula’anah. Hal ini dikarenakan keduanya sama-sama terputus nasabnya dari sisi bapaknya (lihat Al Mughni: 9:123).

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menyatakan tentang anak zina,

ولد زنا لأهل أمه من كانوا حرة أو أمة

Untuk keluarga ibunya yang masih ada, baik dia wanita merdeka maupun budak.”

(HR. Abu Dawud, kitab Ath-Thalaq, Bab Fi Iddi’a` Walad Az-Zina no.2268 dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no.1983)

Dalam riwayat yang lain, dari Ibnu Abbas, dinyatakan,

ومن ادعى ولدا من غير رشدة فلا يرث ولا يورث

Siapa yang mengklaim anak dari hasil di luar nikah yang sah, maka dia tidak mewarisi anak biologis dan tidak mendapatkan warisan darinya.” (HR. Abu Dawud, kitab Ath-Thalaq, Bab Fi Iddi’a` Walad Az-Zina no. 2266)

Dalil lain yang menegaskan hal itu adalah hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abdullah bin Amr bin Ash, beliau mengatakan,

قَضَى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا ، أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لا يَلْحَقُ بِهِ وَلا يَرِثُ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keputusan bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan wanita merdeka TIDAK dinasabkan ke bapak biologisnya dan tidak mewarisinya… (HR. Ahmad, Abu Daud, dihasankan Al-Albani serta Syuaib Al-Arnauth).

Dalil lainnya adalah hadis dari Aisyah radhiallahu ’anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الولد للفراش وللعاهر الحجر

Anak itu menjadi hak pemilik firasy, dan bagi pezina dia mendapatkan kerugian.

Imam An-Nawawi mengatakan, “Ketika seorang wanita menikah dengan lelaki atau seorang budak wanita menjadi pasangan seorang lelaki, maka wanita tersebut menjadi firasy bagi si lelaki. Selanjutnya lelaki ini disebut “pemilik firays”. Selama sang wanita menjadi firasy lelaki, maka setiap anak yang terlahir dari wanita tersebut adalah anaknya. Meskipun bisa jadi, ada anak yang tercipta dari hasil yang dilakukan istri selingkuh laki-laki lain. Sedangkan laki-laki selingkuhannya hanya mendapatkan kerugian, artinya tidak memiliki hak sedikit pun dengan anak hasil perbuatan zinanya dengan istri orang lain.” (Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi, 10:37)

Berdasarkan keterangan di atas, mayoritas ulama berpendapat dan menyimpulkan bahwa anak hasil zina SAMA SEKALI bukan anak bapaknya. Karena itu, tidak boleh di-bin-kan ke bapaknya.

Itulah penjelasan tentang hukum menikah saat hamil dan tentang anak di luar pernikahan. Semoga menjadi informasi yang berguna

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow